After Game - Kekalahan Bukan Kematian
Victory Disease
Perang memang memberikan pelajaran yang berharga buat manusia. Tidak percaya? Coba lihat Perang Pasifik, salah satu dari sekian medan perang di ajang Perang Dunia II.
Perang Pasifik memang dimenangkan pertama kali oleh Blok Axis(Jepang). Semenjak pembokongan terhadap Pearl Harbour yang dikomandoi Laksamana Chuichi Nagumo, Jepang memperoleh kemenangan yang gilang gemilang. Bahkan dengan operasi gurita yang terkenal(western and east octopus) Jepang berhasil menginvasi Filipina, Singapura, Hindia Belanda(Indonesia), Burma, dll. Kekalahan Britania(Inggris) di SIngapura dianggap Winston Churcill sebagai kekalahan memalukan sepanjang sejarah Britania.
Pearl Habour Hancur dan Jepang Menganggap Telah Menang
Namun, kekalahan sekutu tidaklah terlalu lama. Dimulai dari pemboman dari Geladak Kapal Induk Hornet dipimpin oleh Letkol J. Doolittle ke tanah Jepang hingga kejatuhan dua bom atom di Hiroshima dan Nagasaki. Menurut P.K. Ojong dalam buku Perang Pasifik, kejatuhan Jepang dalam perang Pasifik disebabkan oleh beberapa hal diantaranya : pasokan minyak yang terbatas, keterbatasan pilot pesawat tempur, hingga industri Jepang yang kekurangan bahan baku dan tidak sebesar Amerika.
Namun dari sekian yang diutarakan oleh P.K. Ojong saya tertarik mengenai salah satu penyebab kekalahan Jepang. Apa itu? Victory disease alias penyakit kemenangan. Seperti yang kita tahu, pemerintahan Jepang ketika itu gemar sekali mengobarkan spirit perang kepada pasukan dan penduduknya. Efek dari hal ini kebebasan pers seakan "ditutup". Berita kekalahan dikabarkan sebagai kemenangan, meski Jepang sendiri secara strategis harus mengalami kekalahan beruntun sejak pertempuran Atol Midway 1942. Akibatnya moril penduduk Jepang seakan runtuh dan laju industri Jepang tidak bergerak secara maksimal.
Di dunia sepakbola hal ini bisa terjadi seakan menyetujui sifat sepakbola sebagai suatu hal yang universal. Tak terkecuali bagi suporter. Informasi yang kurang obyektif bisa memainkan emosi seorang suporter. Pujian setinggi langit bisa membuat seseorang terlena, takabur dan akhirnya sombong karena lengah. Penyakit kemenangan(Victory Disease) dimiliki oleh Jepang ketika mereka berhasil merebut supremasi di medan Pasifik. Namun tidak menutup kemungkinan hal ini terjadi kepada kita. Who knows?
Jika Jepang merebut kemenangan beruntun di medan perang pasifik maka Arema mengalami zaman keemasan ketika secara beruntun merebut gelar juara Divisi I,dua edisi awal Copa Dji Sam Soe dan kemarin gelar Superliga yang memang sangat didambakan oleh Aremania dan Aremanita(suporter klub Arema Indonesia). Selanjutnya bisa ditebak, kebanggaan melanda di seantero Malang. Sayangnya, jika tidak hati-hati tidak tertutup kemungkinan baik Arema maupun Aremania mengalami masa-masa sulit seperti yang dialami oleh Jepang di perang dunia II.
Mereka kalah karena tidak menyadari bahaya yang timbul dari diri mereka sendiri. Terutama jika dilihat secara mentali dan kondisi psikis seseorang. Tapi siapa yang bisa menjamin manusia bisa mengalami konsistensi 100% sepanjang hayatnya. Jangan sampai diri kita sendiri yang menjadi penyebab salah satu merosotnya Fair Play dan Sportifitas itu sendiri.
Seperti yang terdapat dalam lirik lagu Kop And Headen(Close to Heaven - Color Me Badd) yang dinyanyikan oleh Padhayangan Project berbunyi "Kini Zamannya Tlah Berganti, Pemain Seringnya Malah Berkelahi Permainan Sudah Tidak Fair Lagi, Hanya Jadi Ajang Bela Diri". Lagu ini diedarkan di era 90an menjelang Piala Dunia AS 1994 dan menjadi pertanda lebih dari satu dekade ini sepakbola Indonesia hanya berkutat dalam perbaikan kompetisi, bukan untuk pencapaian prestasi ke arah yang lebih baik. Terlepas dari ketidakmampuan organisasi pengendali sepakbola tanah air ini sebagai Aremania juga harus waspada terhadap bahaya yang muncul dari dalam diri sendiri. Seperti peribahasa kita "Sepandai-pandai Tupai Melompat, Akhirnya Jatuh ke Tanah Jua". Siapa bisa menjamin?
Steven Gerrad Pernah Kalah Menang
Spirit Galatama
Introspeksi bukanlah kalkulasi matematis dari sebuah kegagalan dan tidak mutlak dilakukan hanya pada saat kondisi sedang kalah/kolaps. Gloria victis(Kejayaan pada yang kalah) bisa dilihat ketika Arema Indonesia meraih gelar Juara Superliga kemarin. Kondisi klub kebanggan Aremania itu bukan berada dalam kondisi seratus persen sehat, baik secara psikologi maupun ekonomi. Badai masalah turut menerjang Arema Indonesia sebelum memulai kompetisi hingga ketika Gong penutup Superliga sudah nyaring dikumandangkan.
Kekalahan Arema Indonesia atas Persisam sore ini bisa jadi ibarat sebuah saturasi (titik jenuh) yang menaungi sebagian punggawa Arema Aremania. Jenuh disini bisa diartikan beberapa macam. Jenuh sebagai bagian dari kebobrokan sepakbola Indonesia yang tersaji secara sistematis maupun jenuh secara psikologis yang terjadi akibat tekanan dari dalam diri sendiri maupun dari luar. Umumnya keadaan ini menyebabkan seseorang berubah dalam cara merasakan, berpikir dan berperilaku. Imbas dari keadaan ini bisa menjadikan seseorang stres, dan apabila dibiarkan secara terus menerus bisa berujung pada penurunan performansi dan bioritmik tim itu sendiri. Terlepas adanya secoret tinta atas sebuah selembar kontrak yang bermakna profesionalisme, dimana tim pelatih dan pemain harus berada dalam kondisi 100% untuk memperjuangkan panji-panji Arema.
Jika Anda memperhatikan sebuah gelombang sinusoida maka akan didapat sebuah titik puncak (+) dan (-). Ambil contoh bahwa Tim Arema Indonesia memiliki sebuah puncak kejayaan (dilambangkan dengan +) dan puncak kegagalan(dilambangkan dengan -) maka bisa kita hitung diantaranya perjalanan Arema Indonesia di Superliga 2008/2009 adalah sebuah keadaan dimana sebuah gelombang sinusoida berada di titik puncak (-) sementara Superliga 2009/2010 mengisyaratkan Arema berada di titik puncak (+). Hal ini bisa berlaku untuk tim ini apakah dalam perjalanannya di Superliga kali ini akan berada selalu dalam kondisi titik pucak(+) ataupun (-). Yang pasti inilah dinamika perjalanan klub sepakbola. Suka atau tidak suka, klub sebesar Real Madrid, Manchester United maupun AC Milan pernah mengalami hal ini. Untuk edisi Superliga ini hanya kita sendiri yang bisa menjawab apakah dalam kondisi menurun dari titik puncak (+) ataukah sudah berada di titik puncak (-).
Fakhrudin Sedang Menurun dan Itu Wajar
Terlepas dari masalah wasit dan PSSI yang menjadi momok persepakbolaan nasional tidak ada salahnya kita instrospeksi diri, sambil membenahi apa yang kurang dari dalam diri kita. Bukan tidak mungkin pertandingan Arema Indonesia vs Bontang FC di Stadion Mulawarman depan dijadikan momen titik balik bagi Arema Indonesia untuk meraih jatidirinya sebagai klib yang disegani oleh pelaku sepakbola negeri ini. Syaratnya, hilangkan segera euforia kesuksesan musim kemarin. Kembalilah pada kenyataan akan realita yang ada. Seperti Quote seorang nawak, Jangan terlalu sibuk untuk menganalisa Arema, Didukung saja. Dukungan, yah dukungan itu sekarang menjadi barang mahal untuk Arema Indonesia. Terlebih untuk tim kepelatihan yang dipimpin Miroslav Janu dan tim yang dikomandoi oleh Pierre Njanka.
Ksatria di Atas Lapangan Hijau
Baron Pierre de Coubertin, Pendiri & Presiden pertama Komite Olimpiade International mengatakan "Yang terpenting dari kehidupan bukanlah kemenangan namun bagaimana bertanding dengan baik". Bukan masalah menang yang kita cari namun bagaimana kita menghargai setiap pertandingan tanpa mencederai sportivitas. Salah satu yang kita butuhkan adalah cara pandang (paradigma) dan latar belakang yang lebih komprehensif mengenai arti dari suportivitas itu sendiri.
Ibaratkan pemain sepakbola adalah legiun di sebuah bidang datar yang diselimuti rumput, maka suporter adalah seorang ksatria pendukung dari kursi berderet yang ada di atas tribun. Lyev Nikolayevich Tolstoy(Leo Tolstoy) Sastrawan terbesar Rusia di abad 19 memberikan pandangannya mengenai seorang ksatria. "The strongest of all warriors are these two — Time and Patience"(War and Peace, book X, chapter 16). Lihat juga salah satu prinsip bela diri Tarung Derajat yang berbunyi "Aku ramah bukan berarti takut, aku tunduk bukan berarti takluk".
"Fight Like a True Warrior" bukanlah bertanding dengan menggunakan otot dan otak semata, namun juga dengan hawa nafsu. Syafrein Effendi Usman dan Norain Ishak mengatakan dalam Bahasa Melayu nafsu bermakna keinginan, kecenderungan atau dorongan hati yang kuat. Jika ditambah dengan perkataan hawa(menjadi hawa nafsu) biasanya dikaitkan dengan dorongan hati kuat untuk melakukan perkara yang tidak memiliki tujuan yang baik.
Hawa nafsu bisa berwujud pada keinginan manusia akan suatu hal yang bersifat materi/kebendaan, perasaan yang menimbulkan syahwat/birahi dan sebagainya. Hawa nafsu ini seringkali melampaui akal dan indera kita, tidak dapat dienyahkan segera sesuai dengan keinginan pikiran. Interprestasi yang positif dari Hawa Nafsu bisa berupa semangat yang membara dan utamanya dibutuhkan bagi atlet. Sedangkan interprestasi yang negatif dapat berbuntut pada perilaku vandalisme, dan tindakan anarkis berupa pengrusakan materi dan harta benda. Hal ini yang menjadi permasalahan tersendiri ketika di dunia sepakbola Indonesia dimana terkadang menempatkan hawa nafsu sebagai pijakan tanpa mempedulikan sportivitas. Contoh realnya melampaui kemenangan sekaligus menjatuhkan lawan. Meski berlainan dengan falsafah Jawa "Digdaya tanpa aji, Nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake". Sebuah pelajaran berharga bagi Aremania untuk bersikap sebagai ksatria sejati tanpa harus merendahkan.
Kekalahan hari ini bukanlah kiamat bagi perjalanan tim ini. Segala atensi dan respon kritik dan saran Aremania/Aremanita tentu menjadi bukti kecintaan bagi tim ini. Namun, kritik dan saran itu hendaklah ditujukan untuk membangun tim Arema ini dalam segala dukungan baik moril maupun materiil. Dukungan moril untuk menambah semangat dan harga diri pasukan Miroslav Janu, sedangkan dukungan materiil berupa pembelian tiket pertandingan Arema yang tentu dibutuhkan untuk memberikan nafas kehidupan bagi tim ini. Hendaknya, segala tenaga dan pikiran Aremania ditujukan untuk mendukung Arema dalam ide dan tindakan konstruktif, bukan membuangnya secara sia-sia dalam bentuk tindakan destruktif dan gerakan kontraproduktif bagi keberlangsungan hidup tim yang kita cintai ini.
sumber : http://www.wearemania.net/aremania-voice/after-game-kekalahan-bukan-kematian.aspx?Itemid=104